Review Film: 'Ziarah', Sebuah Kisah Cinta yang Tak Biasa di Balik Penelusuran Sebuah Makam
Review Film Mei 24, 2017
Judul Film: Ziarah
Genre / Jenis Film: Drama
Sutradara Film: BW Purba Negara
MPAA: R-13+
Durasi Film: 1 jam 27 menit
Tanggal Rilis / Tayang Film: 18 Mei 2017 (Indonesia)
Pemain
Ponco Sutiyem (Mbah Sri)
Rukman Rosadi (Prapto / Cucu Mbah Sri)
Ledjar Subroto (Mbah Tresno / Anak Kyai Husodo)
Vera Prifatamasari (Kekasih Prapto)
Sutradara Film: BW Purba Negara
MPAA: R-13+
Durasi Film: 1 jam 27 menit
Tanggal Rilis / Tayang Film: 18 Mei 2017 (Indonesia)
Pemain
Ponco Sutiyem (Mbah Sri)
Rukman Rosadi (Prapto / Cucu Mbah Sri)
Ledjar Subroto (Mbah Tresno / Anak Kyai Husodo)
Vera Prifatamasari (Kekasih Prapto)
Film ‘Ziarah’
ini menceritakan seorang perempuan tua bernama Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang
ingin menemukan makam suaminya yang telah lama meninggalkan dirinya untuk
berperang. Hal yang membuat saya terkagum-kagum dalam film ini adalah pemilihan
para aktornya yang tidak biasa, dimana pemeran utamanya adalah Mbah Ponco yang
telah berumur 95 tahun yang merupakan warga Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Mbah
Ponco ini pada masa agresi militer Belanda ke II, suaminya ditangkap oleh
Belanda. Pada waktu itu mbah Ponco berhasil melarikan diri, berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Pengalaman mbah Ponco ini pun oleh sang sutradara
dimasukan sebagai bagian dari cerita film Ziarah. Begitu pun dengan para
pemeran lain yang ternyata dipilih yang jaman dahulu benar-benar mengalami masa
peperangan.
Scene awal dibuka
dengan menggambarkan manusia yang sudah berada di dalam liang kubur, dalam hal
ini penonton diposisikan sebagai orang yang sudah meninggal dan dikubur. Setelah
dibuka dengan scene awal yang cukup
mengingatkan kita terhadap kematian, penonton kemudian mulai diperkenalkan
dengan tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut. Dalam scene ini, Mbah Sri sedang bercerita kepada cucunya yang bernama Prapto
di sebuah dapur tua khas pedesaan di Jawa tentang suaminya yang pamit untuk
ikut berjuang pada Agresi Militer II Indonesia tahun 1948 dan semenjak itu
tidak Mbah Sri tidak pernah lagi bertemu dengan suaminya yang bernama Pawiro
Sahid selama puluhan tahun.
Mbah
Sri sebenarnya tidak percaya terhadap nisan-nisan tak bernama di Taman Makam
Pahlawan dan mulai mencari tahu keberadaan sebenarnya dari makam suaminya
tersebut. Harapan Mbah Sri sebenarnya sangat sederhana yaitu ingin jika ia
meninggal nanti bisa dimakamkan disamping makam suaminya tersebut.
Setelah
Mbah Sri menceritakan keinginannya tersebut pada cucunya, ia kemudian memulai
perjalanan untuk mencari makam suaminya keesokan paginya. Prapto yang sedang
dipusingkan dengan persiapannya dalam membangun rumah tangganya dengan calon
istrinya itu kemudian kaget karena tiba-tiba neneknya sudah meninggalkan rumah
tanpa berpamitan. Prapto pun kebingungan mencari neneknya tersebut. Akhirnya sang
cucu pun pergi mencari neneknya. Prapto yang pada awalnya hanya ingin meminta
ijin pada sang nenek untuk menikah justru turut dibawa rasa penasaran untuk
mencari makam Pawiro Sahid.
Perjalanan
untuk mencari makam pun dimulai. Penonton di sini akan turut diajak merasakan
pengalaman menelusuri sejarah dan menelusuri berbagai macam pemakaman. Selain
itu penonton juga disuguhkan bentangan alam gunung dan lembah di desa yang
dikemas dengan gambar yang bagus dan dramatik.
Melalui
narasi film Ziarah, BW Purba tengah mengajak kita untuk kembali memikirkan
hubungan manusia dengan tanah yang dalam hal ini ditunjukkan oleh pemaknaan
terhadap tanah Mbah Sri dan cucunya. Kedua karakter yang diceritakan beda
generasi ini memaknai tanah dalam arti yang berbeda. Bagi Mbah Sri yang sudah sepuh, tanah memilki makna spiritual
dimana manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Bagi Mbah Sri,
tanah sangat erat kaitannya dengan kematian. Dalam sebuah scene yang menurut saya cukup sedih adalah ketika Mbah Sri dalam
perjalanan mencari makam sang suami menemukan informasi bahwa makam suaminya
sudah tenggelam bersama sebuah desa yang hilang. Di situ Mbah Sri menanyakan, “Apakah
harus tanah? Tidak bisa di air saja?,” yang secara tidak langsung ia sangat
memilki keinginan untuk dimakamkan di samping makam suaminya walaupun makam
suaminya itu sudah tenggelam dalam air yang sudah berbentuk danau. Bagi Mbah
Sri mungkin kematian adalah cara untuk menuntaskan kerinduannya pada suami.
Seperti pada suatu dialog, Mbah Sri mengatakan, “Ora saklawase pati kuwi pisah, iso ugo malah kosok baline,”
(kematian tidak selalu memisahkan, bisa juga justru sebaliknya).
Perjalanan
menelusiri sejarah yang dialami Mbah Sri dan cucunya ini mengingatkan kita pada
bagaimana dalam menelusuri sejarah terkadang banyak sekali cerita dan informasi
yang berbeda-beda berdasarkan sumber yang berbeda pula. Sampai terkadang kita
harus menemukan suatu kebenaran yang terkadang tidak bisa kita terima dan
mungkin terasa pahit.
Rasa penasaran
saya mulai timbul di saat film menjelang akhir. Perjalanan Mbah Sri dalam
mencari makam suaminya sampai kepada cerita bahwa suaminya yang kala itu sedang
mengendarai sebuah mobil Jip Belanda, justru ditembaki sesama pejuang karena
mereka mengira bahwa Pawiro Sahid adalah seorang penghianat perang. Di situ
diceritakan bahwa Pawiro Sahid ditolong oleh seorang sesepuh desa yang memilki keahlian
pengobatan bernama Ki Husodo. Mbah Sri yang mengetahui cerita tersebut kemudian
mencari Ki Husodo tersebut.
Sekian
banyak orang yang ia temui tidak ada seorang pun mengenali Ki Husodo sampai
akhirnya seorang kakek bernama Mbah Tresno menghampiri Mbah Sri dan mengaku
bahwa dirinya adalah anak dari Ki Husodo. Kemudian Mbah Tresno menceritakan
bahwa ia mengenali Pawiro Sahid setelah Mbah Sri menunjukkan foto suaminya itu.
Mbah Tresno sempat mengatakan bahwa Pawiro Sahid dimakamkan di makam Muktiloyo.
Sebenarnya dari sini perjalanan mencari makam Pawiro Sahid pun sudah selesai.
Akan
tetapi film semakin membuat saya bertanya-tanya mengapa setelah Mbah Tresno
menunjukkan makam Pawiro Sahid justru Mbah Sri sengaja diarahkan menuju makam
yang lain? Harapan Mbah Sri menemukan suaminya pun harus kembali hilang pada
saat itu. Sampai pada akhirnya ia justru diantarkan ke makam Muktiloyo oleh
seseorang yang pada awalnya hendak mengantarkannya pulang menuju terminal.
Fakta
yang dirasa pahit harus diterima oleh Mbah Sri ketika menemukan makam suaminya
yang telah disandingi oleh makam lain. Pada makam tersebut tertulis nama Ki
Pawiro Sahid meninggal 1985 dan yang di sampingnya tertulis nama Nyi Pawiro
Sahid meninggal 1987. Setelah itu Mbah Sri terlihat ambruk entah bagaimana
perasaannya ketika harus menghadapi kenyataan bahwa suami yang selama ini
meninggalkannya selama puluhan tahun ternyata telah menikah lagi dengan orang
lain. Mungkin hal ini yang membuat Mbah Tresno sengaja mengarahkan Mbah Sri ke
makam yang lain karena perasaan tidak tega.
Scene berlanjut dengan
menggambarkan Mbah Sri yang tetap tegar menghadapi kenyataan pahit tersebut
dengan memperlihatkan Mbah Sri menaburkan bunga di kedua makam dan membersihkan
makam tersebut. Pada adegan ini saya merasakan bagaimana kesetiaan Mbah Sri
terhadap suaminya tetap utuh walaupun tahu bahwa cintanya telah dihianati.
Sampai kemudian film diakhiri dengan adegan Mbah Tresno yang sedang
mempersiapkan dua buah makam baru.
Hal
yang masih menjadi pertanyaan di benak saya adalah mengapa makam yang disiapkan
berjumlah dua buah? Lalu beberapa keganjilan masih saya rasakan dalam film ini.
Kecurigaan saya sebenarnya terletak pada alur cerita yang mungkin menurut saya
sengaja untuk tidak dibuat secara urut. Bagaimana jika urutan cerita dibalik? Sempat
Mbah Sri menemukan makam yang salah sebelum menemukan makam Muktiloyo. Mbah Sri
yang tertidur di makam yang salah tersebut kemudian dibangunkan oleh Mbah
Tresno. Scene berlanjut dengan adegan
dimana Mbah Sri dan Mbah Tresno berjalan pulang ke rumah. Di situ Mbah Tresno
mengatakan kepada Mbah Sri untuk menghentikan saja pencarian makam suaminya.
Mbah Tresno mengatakan bahwa tidak perlu memikirkan dimana seseorang dimakamkan
yang jelas kita semua nanti akan sama-sama dikubur ke dalam tanah.
Dari
sini mungkin kemudian scene
selanjutnya adalah adegan terakhir dimana Mbah Tresno mempersiapkan dua buah
makam yang disiapkan untuk Mbah Sri dan Pawiro Sahid untuk menghibur hati Mbah
Sri yang belum menemukan makan suaminya itu.
Kemudian
sempat sebelum cerita berakhir, ada adegan dimana sang cucu dalam perjalanannya
mencari neneknya justru menemukan seseorang yang mati gantung diri. Lalu sang
cucu menceritakan pada calon istrinya bahwa ia yang meninggal orang yang
meninggal tersebut dikarenakan mengetahui pasangannya telah selingkuh yang baru
diketahuinya setelah 30an tahun. Mayat tersebut diangkut di mobil pick up dan
telah ditutupi sebuah kain. Mayat dalam adegan tersebut tidak dinampakkan wajah
aslinya.
Dugaan
saya adalah sebenarnya Mbah Sri tidak benar-benar menerima dengan legowo kenyataan pahit yang harus
diterimanya setelah mengetahui bahwa suaminya telah selingkuh darinya dan hal
tersebut membuatnya harus mengakhiri hidupnya. Akan tetapi jika ending filmnya
harus seperti itu mungkin akan banyak orang yang tidak menerimanya dan tentu
kurang memberikan tanda tanya pada penonton.
Atau
apakah ketika sang cucu menemukan mayat seseorang yang gantung diri tersebut
hanya digunakan sebagai petunjuk bagi penonton untuk menebak ending dari film tersebut? Dan bisa jadi
dua buah makam yang dipersiapkan oleh Mbah Sri dan Mbah Tresno memang sengaja
disiapkan sebagai tanda kesetiaannya terhadap suaminya sehingga ia tetap ingin
makamnya disandingkan dengan suaminya walaupun makam suaminya bukanlah makam
yang sebenarnya. Mungkin keresahan saya ini hanya bisa dijawab oleh sang
penulis cerita BW Purba Negara. :)
Bagi yang penasaran, silahkan menonton trailernya dulu berikut ini